092015 |
A. Psikologi Humanisme
Aliran ini
muncul akibat reaksi atas aliran behaviourisme dan psikoanalisis. Kedua aliran
ini dianggap merendahkan manusia menjadi sekelas mesin atau makhluk yang
rendah. Psikologi
humanistik sangat relevan dengan dunia pendidikan, karena aliran ini selalu
mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaanya terhadap
potensi potensi positif yang ada pada setiap insane.[1]
Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan
pada prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16
M.) tujuan gerakan humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan
Gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam
batasan-batasan tertentu, segala bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu
kebebasan manusia harus segera dipatahkan.
Aliran humanisme memandang bahwa “ manusia adalah
mahluk yang mulia, yang semua kebutuhan pokok diperuntukkan untuk memperbaiki
spisiesnya. Aliran ini terdapat asas-asas penting mengenai manusia sebagai
berikut:
- Manusia adalah mahkluk yang memiliki kehendak bebas.
- Manusia adalah mahkluk yang sadar atau berfikir.
- Manusia adalah mahkluk yang mempunyai cita-cita dan merindukan sesuatu ideal.
- Manusia adalah mahkluk yang kreatif.
- Manusia adalah mahkluk yang bermoral.
- Manusia adalah mahkluk yang sadar akan dirinya sendiri.
- Manusia adalah mahkluk yang memiliki esensi kesucian.
Salah satu tokoh aliran ini, Abraham Maslow yang
mengkritik freud dengan mengatakan bahwa freud hanya meneliti mengapa setengah
jiwa itu sakit, bukannya meneliti mengapa setengah jiwa yang lainnya tetap
sehat.
Abraham Maslow
juga dikenal sebagai “ Bapak spiritual” psikologi humanistik, Maslow berpendapat, bahwa manusia
memiliki lima hierarki kebutuhan yaitu pertama kebutuhan fisiologi, kedua
kebutuhan rasa aman, ketiga kebutuhan rasa cinta, keempat kebuutuhan pengakuan
diri, dan kelima kebutuhan aktualisasi diri .
B. Konsep Manusia menurut Humanisme
Aliran Psikologi
Humanistik selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui
penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan.
Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa
berubah.
Salah satu tokoh dari
aliran ini – Abraham Maslow – mengkritik Freud dengan mengatakan bahwa Freud
hanya meneliti mengapa setengah jiwa itu sakit, bukannya meneliti mengapa
setengah jiwa yang lainnya bisa tetap sehat.
Salah satu bagian dari
humanistic adalah logoterapi. Adalah Viktor Frankl yang mengembangkan teknik
psikoterapi yang disebut sebagai logotherapy (logos = makna).
Pandangan ini berprinsip:
a. Hidup memiliki
makna, bahkan dalam situasi yang paling menyedihkan sekalipun.
b. Tujuan hidup kita
yang utama adalah mencari makna dari kehidupan kita itu sendiri.
c. Kita memiliki
kebebasan untuk memaknai apa yang kita lakukan dan apa yang kita alami bahkan
dalam menghadapi kesengsaraan sekalipun.
Frankl mengembangkan teknik
ini berdasarkan pengalamannya lolos dari kamp konsentrasi Nazi pada masa Perang
Dunia II, di mana dia mengalami dan menyaksikan penyiksaan-penyiksaan di kamp
tersebut. Dia menyaksikan dua hal yang berbeda, yaitu para tahanan yang putus
asa dan para tahanan yang memiliki kesabaran luar biasa serta daya hidup yang
perkasa. Frankl menyebut hal ini sebagai kebebasan seseorang memberi makna pada
hidupnya.
Logoterapi ini sangat
erat kaitannya dengan SQ, yang bisa kita kelompokkan berdasarkan situasi-situasi
berikut ini:
a. Ketika seseorang
menemukan dirinya (self-discovery). Sa’di (seorang penyair besar dari Iran)
menggerutu karena kehilangan sepasang sepatunya di sebuah masjid di Damaskus.
Namun di tengah kejengkelannya itu ia melihat bahwa ada seorang penceramah yang
berbicara dengan senyum gembira. Kemudian tampaklah olehnya bahwa penceramah
tersebut tidak memiliki sepasang kaki. Maka tiba-tiba ia disadarkan, bahwa
mengapa ia sedih kehilangan sepatunya sementara ada orang yang masih bisa
tersenyum walau kehilangan kedua kakinya.
b. Makna muncul
ketika seseorang menentukan pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika
seseorang tak dapat memilih. Sebagai contoh: seseorang yang mendapatkan tawaran
kerja bagus, dengan gaji besar dan kedudukan tinggi, namun ia harus pindah dari
Yogyakarta menuju Singapura. Di satu sisi ia mendapatkan kelimpahan materi
namun di sisi lainnya ia kehilangan waktu untuk berkumpul dengan anak-anak dan
istrinya. Dia menginginkan pekerjaan itu namun sekaligus punya waktu untuk
keluarganya. Hingga akhirnya dia putuskan untuk mundur dari pekerjaan itu dan
memilih memiliki waktu luang bersama keluarganya. Pada saat itulah ia merasakan
kembali makna hidupnya.
c. Ketika seseorang
merasa istimewa, unik dan tak tergantikan. Misalnya: seorang rakyat jelata
tiba-tiba dikunjungi oleh presiden langsung di rumahnya. Ia merasakan suatu
makna yang luar biasa dalam kehidupannya dan tak akan tergantikan oleh apapun.
Demikian juga ketika kita menemukan seseorang yang mampu mendengarkan kita
dengan penuh perhatian, dengan begitu hidup kita menjadi bermakna.
d. Ketika kita dihadapkan pada sikap bertanggung jawab. Seperti contoh
di atas, seorang bendahara yang diserahi pengelolaan uang tunai dalam jumlah
sangat besar dan berhasil menolak keinginannya sendiri untuk memakai sebagian
uang itu untuk memuaskan keinginannya semata. Pada saat itu si bendahara
mengalami makna yang luar biasa dalam hidupnya.
e. Ketika kita mengalami situasi transendensi (pengalaman yang membawa
kita ke luar dunia fisik, ke luar suka dan duka kita, ke luar dari diri kita
sekarang). Transendensi adalah pengalaman spiritual yang memberi makna pada
kehidupan kita.
C. Konsep Manusia Menurut Al Qur’an
Manusia menurut Al-Qur’an dimaknai dengan menggunakan beberapa istilah,
yaitu Bani (Banu) adam atau Dzurriyat Adam (keturunan, anak Cucu Adam),
al-insan, al-ins, an-nas, atau unas atau al-basyar. Sejalan dengan fungsinya
sebagai khalifah dimuka bumi ini, manusia diekali dengan berbagai instrumen
sebagai modal dasar dalam menjalankan tugas kekhalifahan. Pada sisi ini manusia
berbeda dengan hewan sehingga dalam perspektif islam manusia tidak menjadi objek selayaknya hewan. [2]
Manusia disebut sebagai bani
Adam karena dia menunjukkan asal usul yang bermula dari nabi Adam as
sehingga dia tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, darimana ia berasal,
untuk apa ia hidup, dan kemana dia akan kembali. Penggunaan istilah bani
Adam menunjukkan bahwa manusia bukan hasil dari evolusi makhluk anthropus
(sejenis kera). [3]
Abdurrahman An-Nahlawi mengatakan
manusia menurut pandangan islam meliputi:
1.
Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan, artinya Islam
tidak memposisikan manusia dalam kehinaan, kerendahan atau tidak berharga seperti
binatanag, benda mati atau makhluk lainnya ( QS. Al-Isro:70 dan al Hajj: 65)
2.
Manusia sebagai makhluk istimewa dan terpilih. Salah
satu anugrah Allah SWT yang diberikan kepada manusia adalah menjadikan manusia
mampu membedakan kebaikkan dan kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan
Manusia diciptakan oleh Allah
dengan segala kesempurnaannya. Manusia diberi akal pikiran sehingga dengan akal
tersebut mereka dapat berpikir. Dengan berpikir, manusia mampu mengajukan
pertanyaan serta memecahkan masalah. Dengan adanya akal pula, manusia berbeda
dari makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Islam mendorong manusia agar
menggunakan potensi yang dimiliki secara seimbang. Akal yang berlebihan
mendorong manusia pada kemajuan materiil yang hebat, namun mengalami kekosongan
dalam hal ruhaniyah, sehingga manusia terjebak dalam segala kesombongan yang
merusak dirinya sendiri.
Dalam menggunakan
potensi-potensinya, manusia harus menjadi makhluk psiko-fisik, berbudaya, dan
beragama untuk tetap mempertahankan kapasitas dirinya sebagai makhluk yang
paling mulia. Al-Quran menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan
tiga macam istilah yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu al-insan,
an-nas, al-basyar, dan bani Adam.
Kata al-insan berasal
dari kata nasiya yang artinya lupa, menunjukkan adanya hubungan dengan
kesadaran diri. Manusia disebut al-insan karena kecenderungannya akan
sifat pelupa sehingga memerlukan teguran dan peringatan. Kata al-insan
digunakan Al-Quran untuk menunjukkan kepada manusia secara keseluruhan dari
totalitas, jiwa, serta raganya. Kata al-insan untuk penyebutan manusia
diambil dari asal kata al-uns atau anisa yang artinya jinak
dan harmonis, karena pada dasarnya manusia dapat menyesuaikan diri dengan
realitas hidup dan lingkungannya. Sedangkan kata an-nas merupakan
jamak dari kata al-insan, kata ini digunakan untuk menunjukkan
sekelompok manusia, baik dalam arti jenis manusia maupun sekelompok tertentu
dari manusia.
Kata al-basyar dipakai
untuk menyebut semua makhluk, baik laki-laki maupun perempuan, baik satu maupun
banyak. Kata al-basyar adalah jamak dari kata basyarah yang
artinya kulit. Al-Quran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk
tunggal dan satu kali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjukkan
manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.
Ayat Al-Quran yang lain mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar
(manusia) melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan kedewasaan, dimana
tahapan kedewasaan ini menjadikannya mampu memikul tanggung jawabnya sebagai
khalifah di bumi. Al-basyar dipakai untuk menunjukkan dimensi
alamiahnya, yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, seperti makan, minum,
dan mati sehingga manusia disebut al-basyar karena manusia cenderung
perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan.
Al-Quran memuliakan manusia
sebagai makhluk surgawi, yang sedang dalaam perjalanan menuju kehidupan
spiritual yang suci dan abadi di akhirat kelak, meskipun ia harus melewati
rintangan dan cobaan dengan beban dosa ketika melakukan kesalahan di dalam
kehidupan dunia. Bahkan, dalam Al-Quran manusia diisyaratkan sebagai makhluk
spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (hanif). Oleh
karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, dan kesejatian manusia adalah baik,
benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kemuliaan
seperti yang dimiliki manusia. Sebaliknya, kualitas yang buruk, salah, dan
jelek selalu menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih predikat
berkualitas tersebut.
Manusia dapat dikatakan
berkualitas apabila ia memiliki kebebasan untuk berbuat dan berkehendak.
Kebebasan yang dimaksud adalah kesadaran untuk mewujudkan kualitas dan nilai
dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi secara bertanggung jawab. Kualitas
dan nilai manusia dapat diraih apabila manusia memiliki kemampuan untuk
mengarahkan naluri bebasnya berdasarkan pertimbangan aqliyah yang
dikaruniakan Allah kepadanya dan dibimbing oleh cahaya iman yang menerangi
nuraninya yang paling murni.
SUMBER:
Hujair AH. Sanaky
Konsep Manusia Berkualitas Menurut Al-Qur’an dan Upaya Pendidikan.
Ratna Syifa’a
Rachmahana Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan.
newmonasticorder.com
newmonasticorder.com
http://dhanalana11.blogspot.co.id/2013/06/filsafat-humanisme.html
http://kangasepweb.blogspot.co.id/2015/04/konsep-manusia-menurut-humanisme-dan-al.html
http://hidayah-ilayya.blogspot.co.id/2012/01/manusia-dalam-perspektif-islam-dan.html
No comments:
Post a Comment